Selasa, 20 Oktober 2015

Pemain Cadangan (Hadi Pranoto)

"Besok kita tanding lawan Klub Pelita. Harap jaga kesehatan tubuh kalian," kata Pak Toni, pelatih Klub Pam Jaya, usai mereka berlatih. "Pemain yang diturunkan sama seperti minggu lalu. Willy, Doni, Ari dan Roni! Kalian seperti biasa di bangku cadangan dulu," sambung Pak Toni.
Willy melengos tak semangat.
"Harap semua hadir sejam sebelum pukul 09.00 pagi. Terutama kamu Angga!" Pak Toni menunjuk Angga, pemain andalannya.
"Siap Pak!" jawab Angga tegas dan bangga. Mereka lalu bubar.
 GUBRAK! Terdengar bunyi pintu rumah dibanting. PRAK! Bunyi sepatu bola yang dibanting keras. Ibu Willy segera menghampiri anaknya.
"Lho, kenapa kamu, Will?"
"Willy enggak mau ikut latihan bola lagi!" jawabnya ketus sambil cemberut
"Memangnya kenapa? Kamu senang main bola, kan?" tanya Ibu pelan.
"Main bola, sih, senang! Tapi kalau cuma jadi pemain cadangan terus, buat apa, Bu! Coba Ibu bayangkan! Sudah setahun aku ikut latihan, tapi selalu jadi pemain cadangan jika ada pertandingan. Pelatihnya pilih kasih. Angga yang baru beberapa bulan masuk klub, sudah jadi pemain inti. Bahkan sering dipuji-puji. gimana enggak kesal, Bu?" Willy curhat dengan hati dongkol.
"Kamu sama sekali tidak pernah ikut tanding?" tanya Ibu kurang yakin.
"Pernah, sih, Bu! Tapi cuma sekali. Itupun karena kaki Dodi kram," jawab Willy.
"Waktu menggantikan Dodi, apa kamu bermain serius?" selidik Ibu.
"Bermain serius? Buat apa, Bu. Waktu itu, pertandingannya tinggal 10 menit lagi," jawab Willy ketus.
"Itulah salahmu!" kata Ibu sambil tersenyum. "Mestinya, walau diturunkan pada menit-menit terakhir, kamu harus tetap penuh semangat," jawab Ibu.
"Ah, Ibu bercanda. Buat apa lagi main serius, kalu Tim kita sudah kalah. Lagipula, sepuluh menit itu kan sebentar sekali, Bu," jawab Willy protes.
"Benar. Tapi kamu ingat tidak? Waktu Tim Italia dikalahkan Korea, golnya terjadi pada saat satu menit menjelang pertandingan usai. Pemain Korea pantang menyerah sampai detik terakhir. Mereka bisa menyamakan kedudukan, bahkan memenangkan pertandingan melalui perpanjangan waktu," jawab Ibu.
Willy terdiam mendengar jawaban Ibunya, merenungkannya dalam-dalam.
"Kesempatan itu kadang hanya datang satu kali. Tunjukkan kehebatanmu pada pelatihmu, walau waktunya singkat!" ujar Ibu sambil memeluk Willy.

Besoknya, pertandingan dimulai. Di luar dugaan, Tim Pam Jaya kewalahan menghadapi Tim Pelita. Beberapa kali gawang Tim Pam Jaya hampir kebobolan.Angga yang biasanya lincah, hari ini bermain buruk sekali. Beberapa kali bola di kakinya diserobot tim lawan. Padahal biasanya jarang ada lawan yang bisa menebak langkahnya saat menggiring bola.
Tak lama kemudian, Tim Pelita berhasil membobol gawang Tim Pam Jaya. Willy sedih juga melihat kawan-kawannya. Mereka sudah terbiasa bergantung pada Angga. Jika keadaannya seperti ini terus, mereka bisa kalah. Saat babak kedua baru berjalan lima menit, lagi-lagi gawang mereka kebobolan.
"Jangan-jangan kaki Angga sakit," gumam Willy. Belum lagi Willy melanjutkan lamunannya, ia dikejutkan oleh suara Pak Toni.
"Willy! Kamu siap-siap menggantikan Angga!" Pak Toni menunjuknya.
"Saya, Pak?" Willy hampir tak percaya mendapat tugas menggantikan Angga. Bagai mimpi, ia bangkit dari tempat duduknya.
"Ini saatnya untuk membuktikan," bisik Willy dalam hati dan tak lupa berdoa.
Ketika wasit meniupkan peluitnya sambil menunjuk pada Angga, kemudian pada dirinya, Willy sudah siap. Dengan sigap dan bersemangat, Willy berlari ke lapangan. Pertandinganpun dilanjutkan kembali. ia mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya.
Begitu mendapat bola, Willy menggiringnya ke arah gawang lawan. Ia berhasil melewati satu, dua pemain lawan. Ketika posisinya sudah berhdap-hadapan dengan kiper, dengan cepat dan terarah ia menendang bola ke arah gawang. tendangan itu begitu keras, dan mengarah ke sudut yang sulit dijangkau kiper Pelita. Maka... jebollah gawang Pelita!
Sorak tepuk tangan segera membahana dari tempat Tim Pam Jaya. Padahal selama babak pertama, hampir tak ada kata yang bisa terucap. Teman-teman di lapangan segera mengerumuni dan menyalami Willy. Semangat mereka segera menyala kembali. Terutama Joni, yang biasa dipasangkan dengan Angga sebagai penyerang.
Willy tidak puas sampai di situ. Kalau ingin menang, mereka harus mencetak dua gol. Itu sulit kalau ia harus menyerang sendirian. Willy segera mengubah taktik serangannya. Kini bola diumpakan ke Jobu, Jenudian Joni menggiringnya sebentar dan mengoper pada Willy. Ternyata taktik itu cuku jitu mengantarkan mereka kembali ke depan gawang Pelita.
Lagi-lagi Willy berhadapan dengan sang kiper. Namn kali ini ada Joni di tengah gawang. Ketika kiper itu maju untuk mengambil bola, dngan cepat Willy mengoper bola kepada Joni. Joni menendang bola dan menggetarkan jala gawang Tim Pelita. Kembali sorak-sorai bergemuruh. Joni mendapat sambutan luar biasa dari teman-temannya.
"Terima kasih, Will!" kata Joni sambil menepuk tangan Willy.
Pertandingan berjalan tinggal 5 menit lagi Di menit-menit terakhir, Tim Pelita lebih bersemangat. Mereka tidak ingin gawangnya kembali kebobolan. Kali ini Andi berhasil memotong bola dari kaki pemain Pelita. Ia langsung mengopernya pada Joni, Joni mengoper pada Adam. Setelah berhasil melewati satu pemain belakang, Adam kembali mengumpankan bola pada Joni. Posisi Joni ada di tengah-tengah gawang, namun ia tidak berdiri bebas. Ada satu pemain belakang yang menghadangnya.
Ketika melihat Willy di belakangnya, Joni segera menendang bola pelan ke arah samping depan. Pemain belakang itu terkecoh, tidak menyangka bola akan dioperkan. ia mengira Joni akan melelwatinya. Pemain Pelita itu hanya tertegun ketika melihat Willy untuk ketiga kalinya mencetak gol.

Kali ini sorak-sorai penonton makin membahana. Bahkan Angga, pemain cadangan, dan official Tim Pam Jaya berlarian ke arah lapangan. Mereka terkesan dengan permainan Willy dan kawan-kawannya. Ketika peluit panjang terdengar, semakin lengkaplah kebahagian Tim Pam Jaya. Mereka saling berangkulan. Pak Toni menyalami para pemain Tim Pelita. Mereka berkumpul di pinggir lapangan.
"Selamat atas kebehasilan kalian, terutama kamu Will. Dari dulu saya sudah menebak. Kalau mau bermain serius, kamu pasti tidak akan mengecewakan. Dan itu terbukti!" puji Pak Toni. "Kamu Angga! Kenapa kamu tidak bermain seperti biasanya?" sambungnya.
"Kaki saya terkilir, Pak!" jawab Angga.
"Oh... Pantas..." ujar Pak Toni dan teman-teman lainnya.
"Untuk kita masih punya pemain cadangan seperti Willy, Pak!" timpal Joni.
"Tidak hanya WIlly. Doni, Ari, dan Roni, semua pemain yang baik. Pemain cadangan itu bukan berarti pemain yang buruk. Saat pertandingan, kan, tidak mungkin semua pemain dipasang. Di beberapa Tim Dunia, pemain cadangan itu malah tidak diturunkan di menit-menit awal pertandingan. Mereka disiapkan sebagai senjata terampuh saat timnya ketinggalan," Pak Toni menjelaskan. "Dan hari ini Willy telah mebuktikannya. Bapak berharap, siapapun yang duduk di bangku cadangan,  tidak merasa rendah diri. Kalau kalian tidak bermain sungguh-sungguh, pelatih tidak bisa melihat kehebatan kalian," sambungnya lagi.
Willy bernafas lega. Ia merebahkan tubuhnya di rumput hijau di sekelilingnya.
"Terima kasih, Bu!" gumamnya dalam hati. Dipandanginya pojok lapangan tempat ia selama hampir setahun duduk terpaku di situ. Hari ini, paku itu telah berhasil dicabut.

Selasa, 13 Oktober 2015

Celengan Beny

Beny sedang cemberut sejak tadi pagi sampai sore. Ibu bingung di buatnya, semua cara telah dicoba ibu untuk membujuknya. Namun Beny malah mogok makan.
Ibu    : “Beny, makanlah, nanti kamu sakit,” Beny : “biar saja! Beny lagi kesal!, ayah dan ibu kok 
             gak sayang Beny sih ?”
Ibu    : “Tidak sayang ???” (ibu terkejut)
Beny : “Kenapa Kak Deny saja yang di belikan sepeda?”
Ibu    : “Oh, gara-gara itu….” (tersenyum paham). Beny, kemarin kak deny ikut ayah membeli
             sepeda. Ayah memang hanya membeli satu sepeda tetapi maksud ayah sepeda itu bisa
             dipakai Beny dan Kak Deny, buktinya ayah membeli sepeda yang ada boncengannya.”
Beny hanyanya terdiam tidak menerimanya, ibu pun keluar dari kamar beny dan ayah baru saja pulang bekerja).
Ibu    : “Yah, Beny masih marah karena tidak di belikan sepeda,” Ayah : “oh ya?” Ibu : “iya, dia
              cemberut terus , bahkan enggak mau makan.”
Ayah : “sampai begitu ?” (mengerutkan kening). Apa ibu tidak menjelaskan kepada Beny, kalau uang
             Ayah tidak cukup untuk membelikan dua sepeda ?”
 Ibu    : “Sudah Yah, tapi katanya dia merasa tidak disayang.”
Ayah terdiam sejenak dan mengajak ibu berunding. Ketika jam menunjukan pukul 8 ayah dan ibu mencoba masuk ke kamar Beny.
Ayah : “Ben, ayo bangun. Mau beli sepeda enggak ?”
Beny diam pura2 tidak mendengar.
Ayah : “kamu masih marah pada ayah ya? Coba deh kamu ingat kejadian kemarin. waktu ayah mau pergi ke toko sepeda, kamu sedang main layangan di lapangan ibu memanggilmu, tapi kamu tidak mau pulang. Yasudah ayah pergi berdua saja dengan Deny!”
Beny tetap diam , ayah dan ibu tetap berpandangan
Ayah : “Ben, sepeda itu buat kalian berdua. Buktinya ada boncengannya kan?”
Ibu    : “kalian bisa naik sepeda berdua ke sekolah, ke alun-alun, kerumah teman, atau ke toko buku.”
Beny : “kalau tujuannya berbeda bagaimana ?” (dengan kesal)
Ayah : “Maksud Beny?”
Beny : “Misalnya Kak Deny ingin ke rumah temannya, tapi Beny ingin ke rumah teman Beny,
             bagaimana ?
Ayah : “Oo, gampang. Kamu di antar sama Kak Deny dulu ke rumah temanmu.”
Beny : “Enggak mau, berarti Beny tidak bisa main sepeda bareng teman dong,”
Ayah : “Oo, kamu yang antar Kak Deny ke rumah temannya.”
Beny : “Kak Deny dong yang tidak bisa kemana-mana. Repot Yah,”
Ibu    : “Lalu, Beny maunya bagaimana ?”
Beny : “Beny juga di belikan sepeda biar enggak rebutan.”
Ayah : “Beny, gaji ayah kan tidak besar. Itu dipakai untuk keperluan sehari hari, dan lainnya. Uang
             yang dipakai untuk beli sepeda itu bukan uang ayah semua lo! Itu uang tabungan Kak Deny.
             Ayah hanya menambah sedikit. Kak Deny itu hemat, dia jarang jajan dan beli mainan.
             Uangnya ditabung dan jumlahnya sudah banyak,”
Ibu    : “Kalau kamu punya tabungan ayah mau kok menambahinya.iya kan yah ? (sindir ibu sambil
             melirik ayah)
Beny : “Beny tidak pernah menabung yah, bu”
Ibu    : “Ya sudah! Mulai sekarang, sisihkan uang sakumu. Bulan depan pasti ayah mau
             menambahkan untuk beli sepedamu,” (sambil membelai kepala Beny).
Beny : “Bener Yah?” (Beny mulai tersenyum dan Ayah hanya mengangguk sambil menyentil
             hidung   Beny)
Beny : “Besok beli celengan dulu yah. Mana uangnya?” (menadahkan telapak tangan)
Ayah : “uh kamu, memang pintar merayu ayah.”
Beny tertawa geli dan akhirnya Beny mau menabung untuk membeli sepedanya sendiri.